Berkenaan dengan negara hukum ini, Daniel S. Lev[2][5]
berpendapat bahwa negara hukum adalah suatu negara yang disandarkan
pada pembagian kekuasaan yang bertujuan untuk memperlemah elit-elit
politik. Pembagian kekuasaan berdasarkan ide negara hukum menjadi suatu
hal yang sah (legitimate).
Dalam
konsep “Negara Hukum”, eksistensi peraturan perundang-undangan
merupakan salah satu unsur fundamental bagi penyelenggaraan pemerintahan
negara berdasarkan atas hukum. Hal itu tercermin dari konsep Friedrich Julius Stahl[3][6] dan Zippelius[4][7] Menurut F.J. Stahl unsur-unsur utama negara hukum adalah:
1. pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
2. pemisahan kekuasaan negara berdasarkan prinsip trias politika;
3. penyelenggaraan pemerintahan menurut undang-undang (wetmatigheid van bestuur); dan
4. peradilan administrasi negara.
Sementara itu, Menurut Zippelius unsur-unsur negara hukum terdiri atas:
1. pemerintahan menurut hukum (rechtsmatigheid van bestuur);
2. jaminan terhadap hak-hak asasi;
3. pembagian kekuasaan; dan
4. pengawasan justisial terhadap pemerintah.
Negara Hukum Indonesia Berdasarkan Pancasila
Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Soekarno dalam pidatonya pada tanggal
18 Agustus 1945 dan pidato Iwa Koesoema Soemantri (anggota PPKI),
menunjukkan bahwa UUD 1945 memang bersifat sementara. Adapun pidato
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ir.
Soekarno: Saya beri kesempatan untuk membuat pemandangan umum, yang
singkat. Cekak aos hanya mengenai pokok-pokok saja dan tuan-tuan
semuanya tentu mengerti, bahwa Undang-Undang Dasar yang kita buat
sekarang ini, adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau boleh saya
memakai perkataan ini: ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau
kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu
akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat
membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan sempurna.
Pembukaan
UUD 1945 alinea I (satu) yang menyatakan “Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan
di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan” menunjukkan keteguhan dan kuatnya
pendirian bangsa Indonesia menghadapi masalah kemerdekaan melawan
penjajahan. Dengan pernyataan itu bukan saja bangsa Indonesia bertekad
untuk merdeka, tetapi akan tetap berdiri di barisan yang paling depan
dalam menentang dan menghapuskan penjajahan di atas dunia.
Alinea ini mengungkapkan suatu dalil objektif, yaitu bahwa penjajahan tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan dan oleh karenanya harus ditentang dan
dihapuskan agar semua bangsa di dunia ini dapat menjalankan hak atas
kemerdekaan sebagai hak asasinya.
Dari
penjelasan dua konsep tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep “negara
hukum” Indonesia tidak dapat begitu saja dikatakan mengadopsi konsep rechtsstaat maupun konsep the rule of law,
karena latar belakang yang menopang kedua konsep tersebut berbeda
dengan latar belakang negara Republik Indonesia, walaupun kita sadar
bahwa kehadiran istilah “negara hukum” berkat pengaruh konsep rechtsstaat maupun pengaruh konsep the rule of law. Sejalan dengan hal tersebut, Hadjon[5][21], menyatakan bahwa negara hukum Indonesia agak berbeda dengan rechtsstaat atau the rule of law. Rechtsstaat mengedepankan wetmatigheid, yang kemudian menjadi rechtsmatigheid, sedangkan The rule of law mengutamakan prinsip equality before the law.
Adapun negara hukum Indonesia, menghendaki adanya keserasian hubungan
antara pemerintah dan rakyat yang mengedepankan asas kerukunan. Dari
prinsip ini terlihat pula adanya elemen lain dari negara hukum Pancasila
yakni terjalinnya hubungan fungsional yang proporsional antar kekuasaan
negara, penyelesaian sengketa secara musyawarah, dan peradilan
merupakan sarana terakhir. Sejauh menyangkut HAM, yang ditekankan bukan
hanya hak atau kewajiban, melainkan juga jalinan yang seimbang antara
keduanya.
Sebenarnya di Indonesia, baru pada tahun 1966 istilah the rule of law mulai populer untuk mengartikan negara hukum, hal ini diungkapkan oleh Ashary[6][22] sebagai berikut: “Selain istilah rechtstaat, sejak tahun 1966 dikenal pula istilah The rule of law yang diartikan sama dengan negara hukum". Pendapat tersebut antara lain dikemukakan oleh Sunaryati Hartono dan Sudargo Gautama.
Sunaryati Hartono[7][23]
mengemukakan: “Oleh sebab itu, agar supaya tercipta suatu negara hukum
yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat yang bersangkutan, penegakan the rule of law itu harus diartikan dalam artinya yang materiil. Sudargo Gautama[8][24]
menyatakan: “dan jika kita berbuat demikian, maka pertama-tama kita
melihat bahwa dalam suatu negara hukum, terdapat pembatasan kekuasaan
negara terhadap perseorangan. Negara tidak maha kuasa, tidak bertindak
sewenang-wenang. Tindakan-tindakan negara terhadap warganya dibatasi
oleh hukum. Inilah apa yang oleh ahli hukum Inggris dikenal sebagai rule of law.
Dari berbagai macam pendapat tersebut, nampak bahwa di Indonesia baik the rule of law maupun rechtsstaat diterjemahkan dengan negara hukum. Hal ini sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar, sebab sejak tahun 1945 The rule of law merupakan
suatu topik diskusi internasional, sejalan dengan gerakan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia. Dengan demikian, sulitlah untuk saat
ini, dalam perkembangan konsep the rule of law dan dalam perkembangan konsep rechtsstaat untuk
mencoba menarik perbedaan yang hakiki antara kedua konsep tersebut,
lebih-lebih lagi dengan mengingat bahwa dalam rangka perlindungan
terhadap hak-hak dasar yang selalu dikaitkan dengan konsep the rule of law, Inggris bersama rekan-rekannya dari Eropa daratan ikut bersama-sama menandatangani dan melaksanakan The European Convention of Human Rights.
Dengan demikian, lebih tepat apabila dikatakan bahwa konsep negara hukum Indonesia yang terdapat dalam UUD 1945 merupakan campuran antara konsep negara hukum tradisi Eropa Continental yang terkenal dengan rechtsstaat dengan tradisi hukum Anglo Saxon yang terkenal dengan the rule of law. Bahkan lebih dari itu Rene David & John E.C. Brierley[9][25], menyatakan: “To
a certain extent Indonesia, colonised by The Dutch, belongs to the
Romano-Germanic family. Here, however, Romano-Germanic concepts combine
with Muslim and customary law (adat law) in such a way that it is
appropriate to consider that the system is mixed also”. Hal ini sejalan dengan pemikiran Yusril Ihza Mahendra[10][26]
yang antara lain berpendapat bahwa kebijakan pemerintah Indonesia dalam
merumuskan kaidah-kaidah hukum nasional, atau dalam semua hukum yang
diciptakan, menjadikan empat hal sebagai sumber hukum, yaitu hukum adat,
hukum Islam, hukum eks kolonial yang sudah diterima oleh masyarakat dan
konvensi-konvensi internasional yang berlaku. Hal
ini sesuai dengan fungsi negara dalam menciptakan hukum yakni
mentransformasikan nilai-nilai dan kesadaran hukum yang hidup di
tengah-tengah masyarakatnya. Mekanisme ini merupakan penciptaan hukum
yang demokratis dan tentu saja tidak mungkin bagi negara untuk
menciptakan hukum yang bertentangan dengan kesadaran hukum rakyatnya.
Oleh karena itu kesadaran hukum rakyat itulah yang diangkat, yang
direfleksikan dan ditransformasikan ke dalam bentuk kaidah-kaidah hukum
nasional yang baru.
dalam
Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 yang menyatakan: Republik Indonesia yang
merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan
berbentuk kesatuan.
Sebelum
UUD 1945 diubah, penjelasannya memuat tentang Negara Hukum RI khususnya
berkaitan Sistem Pemerintahan Negara RI sebagai berikut
1. Indonesia negara berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).
2. Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme, (kekuasaan yang tidak terbatas).
3. Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu badan, Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.
4. Presiden ialah penyelenggara Pemerintah negara yang tertinggi dibawah Majelis
5. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
6. Menteri Negara ialah pembantu Presiden; Menteri Negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Alasan Hukum Indonesia Lumpuh
Kebebasan yang kebablasan dalam perjalanan demokrasi Indonesia menimbulkan ekses di berbagai bidang, termasuk hukum.Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menilai, meski supremasi hukum diteriakkan keras-keras, tetapi sejalan dengan itu pula penghormatan terhadap hukum hanya sebatas prosedural. Kebebasan yang tidak terbatas menuntun masyarakat untuk cenderung berperilaku liar.
"Kegenitan sebagian penegak hukum yang dibantu oleh manuver para makelar kasus telah melumpuhkan hukum sebagai alat mencapai keadilan. Kasus mafia pajak Gayus Tambunan adalah salah satu contoh sempurna dari bekerjanya praktek-praktek mafia hukum sehingga semakin membuktikan bahwa mafia hukum itu benar-benar ada," kata Mahfud pada prosesi wisuda Unas di Jakarta Convention Center (JCC), Kamis (3/3/2011).
Politisi Partai Keadilan Bangsa (PKB) ini menambahkan, makin jauhnya hukum dengan keadilan ditandai dengan makin terdesaknya keberadaan produk-produk hukum yang substansial dengan hukum prosedural.
Dalam makalahnya yang berjudul Demokrasi dan Nomokrasi sebagai Pilar Penyangga Konstitusi itu Mahfud menilai, keseimbangan antara kedaulatan rakyat (demokrasi) dan kedaulatan hukum (nomokrasi) mutlak diperlukan.
"Tanpa upaya penyeimbangan, terutama di masa transisi ini, demokrasi berpeluang menjadi liar dan justru akan membenamkan hukum," ujar Mahfud menegaskan.
sumber :
http://news.okezone.com/read/2011/03/03/339/430900/alasan-hukum-indonesia-lumpuh
http://putracenter.net/2009/02/16/definisi-hukum-menurut-para-ahli/
No comments:
Post a Comment